Sebuah pencapaian, apa pun bentuknya, membutuhkan perjuangan untuk mencapainya. Sebaliknya, apa pun hasil yang akan dicapai atau dinikmati pada masa kemudian, tidak lain merupakan hasil dari perjuangan yang selama ini dilakukan. Semua itu, terlepas apakah pencapaian itu membutuhkan waktu yang panjang ataukah singkat.
Besarnya arti sebuah "berkah turunan" dalam tradisi pesantren tidak lantas membuat Gus Miek ataupun Gus Dur berdiam begitu saja. Keduanya sadar betul bahwa semua itu tidak akan ada artinya tanpa perjuangan lebih lanjut. Sebuah pencapaian yang berupa ‘warisan’ tersebut, sebagaimana warisan yang berupa harta benda, adalah bersifat jumud (diam tak berkembang). Bila tidak dikelola dengan benar, bukan mustahil potensi besar itu akan beku dan terhapus oleh perkembangan waktu. Kita tahu, banyak keturunan orang besar yang kemudian sama sekali tak terdengar kiprah perjuangannya, karena mungkin hanya mau enak menikmati anugerah yang diterimanya itu, tanpa mau bersusah payah memperjuangkan ‘warisan’ yang bersifat amanah tersebut.
==============Ketika keinginan mendapatkan posisi pemimpin sudah terwujud, maka hal pertama yang mesti disadari adalah pengorbanan yang bisa diberikan untuk perjuangannya. Perjuangan sebagai pemimpin, sudah pasti membutuhkan persembahan untuk posisi yang terhormat itu. Baik Gus Miek maupun Gus Dur adalah dua sosok pemimpin yang tak pernah merisaukan uang maupun kehormatan. Gus Miek dengan kepemimpinannya sadar betul akan posisinya dan segenap konsekuensinya. Gus Miek dengan pilihan perjuangannya terpaksa harus berkeliling mengunjungi tempat-tempat yang jauh untuk membimbing jama’ahnya maupun untuk merangkul jama’ah yang baru. Gus Miek seolah telah menjadi milik jama’ahnya, tanpa bisa mengelak. Demikian pula dengan Gus Dur. Masa-masa manis sebuah keluarga yang lengkap hanya terjadi pada masa-masa hidup di Jombang, di mana saat itu Gus Dur belum memutuskan menjadi pemimpin. Namun, sejak Gus Dur menduduki posisi puncak NU, waktu untuk anak-anaknya (bahkan untuk sekadar bisa mengobrol dengan dirinya) pun sangat sulit untuk didapatkan. Karena kesibukannya, Gus Dur sering pulang larut malam. Sudah seperti itu pun, sesampai di rumah ia masih harus menemui tamu-tamunya yang sudah menunggu (baik dari kalangan menteri, politikus, jenderal, pemimpin agama, intelektual, wartawan, diplomat, bahkan rakyat jelata dari kalangan petani atau janda miskin) dan tiada habis sampai pagi menjelang.
===============
GUS MIEK adalah pemimpin spiritual bagi kalangan akar rumput di tanah Jawa, sementara Gus Dur adalah pemimpin yang pernah menjadi tokoh nomor satu di negeri ini. Jika Gus Dur memilih berkiprah di tingkat nasional maka Gus Miek lebih memilih berdakwah di lembah hitam kemaksiatan, mulai dari diskotek, arena perjudian, hingga lokalisasi.... Meskipun berbeda wilayah perjuangan, kedua tokoh besar ini ternyata memiliki prinsip-prinsip kepemimpinan yang tidak jauh berbeda.
Buku ini mengajak Anda membongkar prinsip-prinsip yang mengantarkan Gus Dur dan Gus Miek menjadi pemimpin sejati itu; pemimpin yang teramat dicintai rakyat, pemimpin yang namanya tetap melekat di hati umat meskipun keduanya telah (lama) wafat. Buku ini wajib Anda baca, terlepas apapun profesi Anda. Sebab, sebagaimana sabda Rasulullah, setiap diri kita adalah pemimpin pada ranahnya masing-masing yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar