Banyak pro dan kontra sejak pertama
kali peraturan ini digulirkan ke publik. Ada yang merasa setuju, ada
pula yang tidak setuju. Perda ini melarang kaum wanita untuk mengangkang
pada saat dibonceng menggunakan kendaraan roda dua. Yang biasanya
posisi duduk mengangkang ke depan, maka sekarang para wanita di
Lhoksemawe diharuskan untuk duduk menyamping pada saat dibonceng
mengendarai kendaraan bermotor.
Secara pribadi, saya setuju dengan
kebijakan ini. Walaupun terkesan tidak populer (bahkan di kalangan
wanita sendiri), menurut saya peraturan ini justru ingin menempatkan
wanita di posisi yang lebih tinggi dibandingkan pria. Dengan borposisi
menyamping, wanita akan terlihat lebih anggun dan tidak terkesan tomboy
seperti laki-laki. Penulis jadi teringat kala masih kecil dahulu, dimana
masih jarang wanita yang mengendarai sepeda motor, dan wanita masih
lebih malu-malu dan masih melindungi harga dirinya dibandingkan
sekarang. Dahulu saya ingat kalau seorang wanita dibonceng naik sepeda
onthel saja, dia duduk menyamping, begitu juga apabila dia dibonceng
menggunakan sepeda motor, mereka diajarkan oleh orang tuanya untuk duduk
menyamping ketika posisi diboncengi. Hal ini menjadi adat istiadat
kesopanan yang berlaku secara umum sampai akhirnya budaya barat dan
keterbukaan informasi mulai mengurangi kepekaan masyarakat dalam
melakukan kontrol sosial.
Seiring dengan berjalannya waktu, maka
adat kita pun mulai terpengaruh. Satu dua orang wanita mulai berani
untuk duduk mengangkang saat dibonceng. Tentu saja pada saat itu,
kelakuan tersebut yang mulai menyimpang mendapat cibiran dari
masyarakat. Mereka mulai ditegur oleh sistem kontrol sosial dalam
masyarakat. Tetapi dalam hal ini kontrol sosial tersebut tidak di
perkuat dengan instrumen hukum oleh pemerintah, sehingga kontrol sosial
ini justru semakin melemah seiring dengan gencarnya arus informasi dan
budaya asing yang masuk ke Indonesia, hingga pada akhirnya duduk
mengangkang bagi wanita adalah hal yang biasa.
Keterbiasaan ini diterima oleh generasi
selanjutnya sebagai hal yang lumrah. Tidak ada lagi bagi mereka yang
menegur ketika dibonceng duduk mengangkang. Ini menjadi kebiasaan dan
justru yang duduk menyamping menjadi hal yang aneh di masyarakat
sekarang. Nah, di tengah-tengah situasi ini, kemungkinan besar bupati
Lhoksemawe teringat memori masa lalunya yang begitu menempatkan posisi
wanita yang lebih tinggi dibandingkan pria, menghormati wanita diantara
para pria. Akhirnya dikeluarkanlah Peraturan Daerah tersebut walaupun
pada penerapannya akan mengalami kendala, karena itu tadi, peraturan ini
dibuat dan diberlakukan terlambat beberapa generasi.
Peraturan ini dibuat pada generasi yang
sudah menganggap kesetaraan gender sebagai kesamaan berperilaku antara
pria dan wanita. Generasi yang tidak memiliki lagi kontrol sosial
mengenai duduk mengangkang. Pada generasi ini, larangan mengangkang
justru lebih banyak dikeluarkan dari para wanita itu sendiri. Padahal
dari sudut pandang kami para pria, duduk menyamping lebih terhormat dan
lebih anggun.
Kehormatan wanita di mata pria
Wanita bagaimanapun secara kodrati tidak
dapat disamakan dengan pria. Walaupun dengan alasan kesetaraan gender
ataupun emansipasi wanita, wanita tetap tidak dapat disetarakan dengan
pria! Ya, banyak kalangan wanita pasti akan langsung bereaksi negatif
bila ada yang mengeluarkan pernyataan seperti itu. Tapi tunggu dulu,
kami kaum pria mengatakan bahwa kodrat kita tidak dapat disamakan, tapi
bukan berarti kodrat wanita lebih rendah daripada kodrat wanita. Saya
menyatakan dengan jujur dan terbuka justru sebaliknya: wanita adalah
makhluk yang harus dihormati dan dihargai oleh kaum pria.
Kami para kaum pria diajarkan untuk
tidak sembarangan menatap aurat wanita, karena aurat wanita hanya milik
muhrimnya saja. Kami menghormati hal tersebut dan kami sangat hormat
terhadap wanita yang juga menghargai dirinya sendiri dengan menutupi
auratnya di depan umum dan hanya membukanya di hadapan muhrimnya saja.
Kami para kaum pria diajarkan bahwa
surga itu ada di bawah telapak kaki ibu, artinya, posisi ibulah yang
nantinya menentukan jalan kehidupan kita di akhirat. Lalu, apakah ibu
itu seorang pria? bukan! tentu saja ibu itu adalah seorang wanita!
Kami para kaum pria tidak diperkenankan
sembarangan menyentuh kulitmu wahai wanita yang bukan muhrim. Kami
menghargai dan menghormatimu bahwa engkau adalah milik eksklusif
suami/muhrim mu. Tidak berhak kami menyentuhmu, kecuali engkau adalah
muhrimku.
“ Wahai Rasulullah”, siapa orang yang
lebih berhak untuk dihormati, Rasulullah menjawab : “ Ibumu”, kemudian
bertanya lagi : “ kemudian siapa”, Rasul menjawab : “ Ibumu” kemudian
bertanya lagi: “ kemudian siapa “, Rasul menjawab: “ Ibumu”, kemudian
bertanya lagi : “ kemudian siapa “, Rasul menjawab : “ Bapakmu “.
Secara keseluruhan saya simpulkan bahwa
kami kaum pria sangat menghormati kedudukan para kaum wanita, kami mohon
janganlah justru anda sendiri kaum wanita yang merendahkan
kehormatanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar