Belakangan ini media massa diramaikan
oleh pemberitaan masalah konflik antara lembaga penegak hukum di
Indonesia. Yaitu antara Polri dan KPK. Isu konflik antara Polri dan KPK
ini sebenarnya sudah bukan menjadi hal yang baru lagi di Indonesia.
Pertama kali muncul ke permukaan adalah isu cicak dan buaya yang hangat
pada saat Kabareskrim Polri dijabat oleh Komjen Pol. Susno Duadji.
Kemudian belakangan ini mulai marak kembali sejak ditetapkannya Irjen
Pol Djoko Susilo sebagai tersangka kasus pengadaan simulator SIM oleh
KPK.
Penarikan Penyidik KPK Oleh Polri
Sejak status tersangka yang diberikan
KPK kepada DS, maka sejak saat itu pula lah tindakan Polri yang
menyangkut KPK ataupun yang menyangkut DS selalu dikatakan salah. Selama
ini Abraham Samad menyatakan bahwa penarikan penyidiknya oleh Polri
akan menghambat proses penyidikan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Memang benar penarikan tersebut sedikit banyak akan mengganggu proses
penyidikan yang sedang dilaksanakan oleh KPK. Tetapi perlu
dipertimbangkan juga statement Kapolri yang menyatakan bahwa ha tersebut
bukanlah penarikan penyidik KPK oleh polri, melainkan kembalinya para
penyidik Polri di KPK tersebut adalah karena masa tugas mereka sudah habis. Dan Kapolri pun telah mengirimkan penyidik pengganti yang lainnya yang ternyata justru ditolak oleh pimpinan KPK.
Siapa yang dilemahkan : KPK atau Polri?
Para pimpinan KPK semakin sering
‘mengadu’ kepada media bahwa ada gelombang pelemahan secara sistematik
oleh berbagai kalangan. Mulai dari hambatan pembuatan gedung baru KPK,
sampai dengan pelemahan dengan cara penarikan penyidiknya oleh polri.
Memang jika dilihat secara sekilas, maka benar, bahwa polri melakukan
pelemahan kepada KPK. Tetapi jika dibolehkan penulis sedikit melihat hal
ini dari sudut pandang yang lain.
Polri sudah dilemahkan semenjak pertama kali KPK dibentuk.
Tugas dan wewenang pemberantasan korupsi
sebelum KPK dibentuk ada pada lembaga kepolisian dan kejaksaan. Lalu
karena dianggap kedua lembaga ini tidak bisa menjalankan amanat
undang-undang dengan baik, maka dibentuklah KPK dengan tujuan untuk
membantu memberantas korupsi di negara ini. Tetapi suatu hal yang
timpang terjadi dalam perjalanan pelaksanaan tugas KPK ini. Dan ini
sangat sensitif bagi personil penyidik, yaitu : gaji dan anggaran
penyidikan.
Sebagai ilustrasi, penyidik setingkat
kompol di bareskrim polri memiliki gaji sekitar 4-5 juta rupiah,
sedangkan penyidik di KPK bisa mencapai 400 persen daripada gaji
penyidik di bareskrim polri. Begitu juga dengan anggaran penyidikan di
KPK jauh lebih besar dibandingkan yang dimiliki oleh bareskrim polri (sumber).
Gaji yang besar tentu saja akan meningkatkan motivasi bagi para
penyidik di KPK, walaupun tidak menutup kemungkinan mereka untuk
melakukan penyimpangan. Tetapi jelas bagi seorang penyidik, dia akan
lebih termotivasi apabila gaji yang diterima sebulan sebanyak 20-25 juta
dibandingkan apabila dia hanya menerima 4-5 juta rupiah sebulan untuk
beban pekerjaan yang sama.
Lembaga KPK kini diagung-agungkan
sebagai motor terdepan dalam pemberantasan korupsi. Sedangkan Polri
dianggap ‘melempem’ dalam pemberantasan korupsi. Tetapi jika di lihat di
dalam lembaga tersebut, ternyata penyidik di KPK terdiri dari anggota
Polri juga. Hal ini seharusnya menjadi pertanyaan yang besar bagi
pemerintah dan seluruh masyarakat. Mengapa dengan personil yang sama,
kedua lembaga ini memiliki prestasi yang timpang dalam pemberantasan
korupsi? Tentu aspek penggajian dan angaran tadi tidak bisa di acuhkan
begitu saja.
Sebelum KPK dibentuk, polisi merupakan
lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengusutan kasus-kasus korupsi.
Lalu dengan perkembangan bahwa penyidik polri di KPK yang diberikan gaji
dan tunjangan yang besar, mereka juga bisa mengungkap berbagai macam
kasus korupsi yang besar, lalu mengapa tidak gaji penyidik polri dan
anggaran penyidikan polri saja yang diperbesar? Mengapa tidak mendukung
dan memperbaiki lembaga yang sudah ada daripada membentuk lembaga
‘saingan’ polri dengan dukungan anggaran yang tidak adil dengan yang
diberikan kepada polri? Sejak pertama kali di bentuk KPK dengan segala
super powernya, sudah jelas polri ‘kalah’ dan sudah jelas, posisi polri yang saat itu lemah dalam pemberantasan korupsi akan semakin diperlemah dengan keberadaan KPK.
Polri akan selalu saja dibanding-bandingkan kinerjanya dengan KPK.
Padahal, kedua lembaga tersebut tidak bisa dibandingkan. Kinerja mereka
baru dapat dibandingkan jika keduanya memiliki ‘kekuatan’ yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar